arca

Konsep pemujaan terhadap murti atau arca Tuhan dan berbagai penjelmaan-Nya merupakan ciri pokok cara sembahyang dalam Agama Hindu. Sebaliknya dalam ajaran agama lain cara tersebut dipandang sebagai sebuah jalan kesesatan. Umat agama lain melarang keras pemujaan terhadap objek sembahyang apapun yang diciptakan oleh manusia. Cara sembahyang umat hindu dituduh sebagai pemujaan berhala. Celakanya, pemujaan terhadap berhala inilah yang sering dijadikan sebagai alasan untuk “menyelamatkan” orang-orang Hindu. Berbagai pertanyaan mencuat ketika melihat cara orang hindu memuja tuhan mereka. Masak sih, Tuhan seperti batu? Tidakkah berarti kita membatasi tuhan kalau tuhan kita puja dalam wujud tertentu? Apakah bukan pelecehan besar kalau kita mempersamakan Tuhan dengan benda-benda ciptaannya? Lalu muncullah berbagai pertanyaan teologis yang acapkali memojokkan. Pengertian Arca dalam Tradisi Pemujaan Hindu Kata arca asalnya dari bahasa sansekerta yang sudah diserap kedalam bahasa indonesia. Nama lain arca adalah murti atau pratima. Dalam bukunya Darshan : Seeing the Divine Image in India, Professor Diana Eck dari Harvard University, Amerika menuliskan sbb: “just as the term icon conveys the sense of a ‘likeness’ so do the Sanskrit word pratikriti and pratima suggest the ‘likeness’ of the image of the deity it represents. The common word for such image, however, is murti, wich is defined in Sanskrit as ‘anything which has difinite shape and limit, ‘ ‘a form, body, figure,’ ‘an embodiment, incarnation, manifestation. ‘Thus the muti is more than a likeness;it is the deity itself taken ‘form’… The uses of the word murti in the upanisads and the ‘Bhagavad-gita’ suggest thet the form is its essence. The flame is the murti of fire, (etc)…” Artinya : “Seperti halnya istilah ikon menunjukkan makna ‘kesurupan’ begitu pula kata-kata pratikrti dan pratima dalam bahasa Sansekerta mengandung makna ‘kesurupan’ antara gambar atau patung dengan dewata yang dilambangkannya. Namun, kata yang umum digunakan untuk menyebut patung seperti itu adalah murti yang didefinisikan sebagai ’segala sesuatu yang memiliki bentuk dan batas tertentu,’ ’suatu bentuk, badan, atau figur,’ ’sebuah perwujudan, penjelmaan, pengejawantahan.’ Jadi murti lebih dari sekedar ‘kesurupan’, melainkan dewata sendiri yang telah mewujud. …Pemakaian kata murti dalam berbagai Upanisad dan ‘Bhavad-gita’ menunjukkan bahwa bentuk atau wujud itu adalah hakekat atau esensinya. Nyala api adalah murti dari api, dan sebagainya… Sayangnya setelah diserap ke dalam bahasa indonesia, kata arca kemudian dimaknai identik dengan kata patung atau berhala, dan sering berkonotasi negatif. Mengapa dibutuhkan Arca Tujuan tertinggi pemujaan kpd Tuhan menurut Weda adalah moksa yaitu terlepasnya atman dari perputaran kelahiran dan kematian yang dialami berulang kali ke dunia material ini, atau terbebasnya dari reinkarnasi (samsara). Pembebasan ini itu hanya dapat dicapai bila seseorang telah berhasil pulang ke dunia rohani, memasuki kerajaan tuhan. Syarat untuk mencapai kepada Tuhan adalah, kita harus mencintai Tuhan. Pepatah “Tak Kenal Maka Tak Sayang” juga berlaku dlm hubungan kita dengan Tuhan. Bagaimana kita bisa mencintai beliau, kalau kita tidak pernah kenal beliau? Kalau ternyata Tuhan tidak berwujud, tidak memiliki sifat, tidak terdeskripsikan dan lain-lain? Bagaimana kita bisa “memberi” sesuatu kepada Tuhan, kalau mata kita tidak bisa melihat-Nya? Msutahil, karena berbagai alasan, pertama karena keterbatasan panca indera kita. Tuhan mungkin sudah hadir di depan mata kita, tapi mata kita tidak mampu melihatnya. Telinga tidak mampu mendengar bisikan tuhan yang lembut, yg mungkin sudah dekat telinga kita. Itu karena frekuensi yang berbeda. Dalam atmosfir di sekitar kita berseliweran beribu-ribu gelombang cahaya, suara, listrik dsb. Toh mata dan telinga kita tidak bisa menangkapnya. Seandainya mata dan telinga sangat peka, tentu kita tidak butuh telepon, TV atau radio. Dengan segala keterbatasan itu, bagaimana kita bisa melihat dan mencintai Tuhan? Padahal kalu mau jujur kita tidak pernah bisa bersembahyang pada kekosongan. Saat berdoa, sembahyang atau melakukan pemujaan, pastilah pikiran kita membayangkan suatu figur, sosok, bentuk, wujud, konsep atau gambaran tertentu yang dijadikan obyek pemusatan pikiran. Namun para maharesi atau orang suci yang telah mencapai tingkat keinsafan diri tertinggi, mampu secara langsung melihat wujud dan sifat tuhan. Arca atau murti dibuat dari bahan kayu, batu, logam, tanah liat, cat dan sebagainya. Ada kitab Weda khusus bernama silpa sastra, yang berisi panduan lengkap bagaimana orang membentuk arca atau murti Tuhan. Ada upacara dan mantram tertentu yang harus dilakukan untuk “mengundang” Tuhan agar berkenan “bersemayam” dalam murti atau arca yang dipuja. Tuhan maha hebat, Beliau mampu mengubah sesuatu yang bersifat material menjadi bersifat spiritual. Apa sulitnya bagi Tuhan untuk “masuk” kedalam arca atau murti, untuk menrima bhakti dan persembahan dari pemuja-Nya yg berbakti dengan hati dan keinginan yang tulus? Bukankah batu, kayu, logam atau bahan lainnya semua adlah ciptaan Tuhan sendiri? Apakah kita akan disebut menghina dan menyekutukan Tuhan, kalau kita manfaatkan benda-benda ciptaan Tuhan untuk mengagungkan dan mendekatkan diri kepada-Nya? Kalau kemudian ada yang bertanya : “Tuhan ada dimana-mana. Apakah itu berarti Tuhan juga ada di dalam arca? Mampukah Tuhan masuk, berada dan bersemayam dalam arca yang dipuja umat Hindu itu? Biasanya ada yang menjawab : “Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tuhan Maha Suci, Tidak mungkin Tuhan berada dalam benda-benda ciptaan manusia!” Kalau begitu, bisakah kita menyimpulkan “oh, jadi Tuhan kalah dengan manusia? Manusia lebih hebat dari Tuhan, karena mampu menciptakan sesuatu yang membuat Tuhan tidak mampu memasukinya? Tidak berdaya menghadapi benda-benda ciptaan manusia! Bukankah itu berarti Tuhan juga tidak mampu berada dalam masjid, gereja, pura dan wihara? Bukankah semua ‘tempat suci’ buatan manusia? Lalu apa gunanya kita sembahyang di pura, masjid, gereja atau wihara kalau toh Tuhan tidak bisa berada di dalamnya? Dalam konsep Hindu, Tuhan bersifat transenden, sekaligus imanen. Artinya, selain berada di tempat tinggal rohani-Nya, Tuhan juga sekaligus berada dalam benda-benda ciptaan-Nya Tuhan dilihat dan dihayati dalam segala sesuatu. Pertimbangan-prtimbangan demikian yang melandasi konsep pemujaan arca atau murti yang dijelaskan dalam kitab-kitab Weda. Kesimpulannya, arca atau murti berbeda dengan berhala. Umat Hindu tidak menyembah berhala. Umat Hindu jujur dan berani terang-terangan memvisualisasikan Tuhan sesuai dengan pemaparan dalam weda.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "arca"

Posting Komentar

Free Greek Independence Day Cursors at www.totallyfreecursors.com